Syair Indah Sang Bidadari
Seperti
hari-hari sebelumnya, pagiku diawali dengan penyesalan akibat mengacuhkan
jeritan jam beker, kemudian panik mencari handuk - yang sesungguhnya berada di tangan sendiri - lalu berpakaian dengan terburu-buru, sarapan
seadanya dengan makanan sisa semalam, membereskan tempat tidur, memasukkan
buku-buku ke dalam tas, memakai sepatu, kemudian berlari menuruni tangga. Tiba
di pekarangan, kutarik nafas panjang, lalu melangkah tenang di antara
rerumputan yang berkilauan. Mataku
langsung tertuju pada titik paling terang di kaki langit tepat di hadapanku,
dengan pulau-pulau awan yang melayang rendah di sekitarnya. Jilbabku berkibar-kibar
disapa angin. Aku menyambutnya dengan senyum seindah mungkin, sebagai wujud
rasa legaku karena berada di sini tepat pada waktunya. Semua tadi kulakukan
dengan cepat bukan karena takut terlambat mengikuti pelajaran di kampus,
melainkan tak ingin melewatkan Mahakarya indah yang dihadirkan Sang Pencipta di
setiap paginya pada sisi timur bumi itu. Detik-detik ketika cahaya matahari
tiba di bumi dan menyentuh tubuhku adalah saat di mana sebuah energi menjalar
dan menyebarkan sinyal-sinyal positifnya ke seluruh tubuh mulai dari ubun-ubun
hingga ujung kaki. Saat itu pula aku menyadari betapa besarnya nikmat Tuhan,
yang menganugerahkan kelima inderaku berfungsi dengan baik hingga pagi ini.
Karena aku tak tahu kapan itu berakhir, sampai kapan matahari itu membagi
sinarnya untukku.
Aku sedang duduk di kursi taman kampusku ketika awan pekat mulai menaungi. Angin
berhembus kencang membuat gaduh pepohonan dan menghempas dedaunan kering. Hawa
sejuk menyentuh lembut wajahku, mengalir hingga sekujur tubuh. Sebuah lampu
bundar berdebu yang ada di dekatku menyala otomatis. Cahayanya yang redup pertanda ia telah lelah mengabdi. Titik-titik air jatuh perlahan dari langit.
Kutengadahkan wajahku dan kubiarkan ia membasahinya. Aku menikmati semua itu.
Aku menemukan keindahan dalam hal-hal kecil seperti hujan, dedaunan kering yang
berjatuhan, lampu taman, guratan awan, bayang-bayang pohon dalam senja, bahkan
genangan air di hadapanku. Aku mengagumi keindahan. Satu hal yang paling indah
di atas segalanya bagiku adalah syair Al-Qur’an. Aku kerap menyendiri untuk
menikmati semua itu. Karena dengan begitulah aku menemukan ketenangan.
Lafadz
terakhir azan masih terngiang-ngiang seiring dengan meredanya hujan. Aku
bangkit dari kursi taman dan menyusuri jalan setapak menuju masjid. Sebuah
suara yang memanggil namaku membuatku menoleh.
“Anisa…!”
“Hai,
Ivy!” sapaku sambil tersenyum.
“Ini,
earphone yang kau pesan. Sudah ada
tilawah lengkap 30 juz. Kau bisa memilih surah yang kau inginkan cukup dengan
mendekatkan mulutmu pada kotak ini, kemudian menyebutkan nama surahnya. Canggih
dan praktis, bukan?” Ivy menyodorkan sebuah earphone
sambil mengenalkan cara memakainya, sedang aku terpaku. Beberapa hari yang lalu
aku memang memesannya pada paman Ivy yang merupakan pemilik toko elektronik,
buku, dan CD islami. Aku ingin sekali bisa membaca Al-Qur’an dengan berirama sejak
dulu. Namun tak kunjung mempelajarinya. Aku merasa sangat kaku dan tak
indah ketika membaca Al-Qur’an. Kini aku berjanji pada diri sendiri untuk
mempelajarinya dan mampu membacanya sebelum semester dua.
“Terimakasih
banyak, Ivy!” aku memeluknya bahagia.
“Sama-sama Nis,” ujarnya sambil mencubit pipiku.
“Pipimu
dingin dan lembab, Nis. Ya ampun, jilbabmu, kemejamu, mengapa basah dan kotor
seperti ini?” Ivy mengambil beberapa helai daun kecil yang melekat di jilbabku.
Ia kemudian mundur selangkah dan memandangiku tak percaya dari atas hingga
bawah, lalu ke atas lagi, kemudian ke bawah lagi, berulang-ulang sambil melongo.
“Kamu
hujan-hujanan lagi?”
Aku
mengangguk. Mataku menjelajah ke sekeliling, berusaha tak menatapnya sambil
memasang tampang tak berdosa meski tahu beberapa detik lagi aku akan kembali
‘hujan-hujanan’, hujan semprotan pidato Ivy yang sepertinya akan lebih panjang
dari musim hujan manapun.
“Aih…rokmu,
sepatumu, basah dan kotor sekali! Sudah kuperingatkan Nis, jangan lakukan
sesuatu yang tak berguna! Kau boleh menyenanginya, tapi bukan berarti kau boleh
terus berbuat demikian.” Ivy menghela nafas. “Karena hal itu juga akan
berdampak buruk bagimu…!” Ivy menatapku prihatin. Aku menggaruk kepalaku yang
tak gatal, kemudian menunduk, menghindari tatapannya. Ivy adalah teman baikku
yang paling cerewet, namun sifat pedulinya tak kutemukan pada siapapun. Ia
gadis yang cerdas dan menyukai kebersihan. Semboyan ‘Kebersihan adalah sebagian
dari iman’ sangat ia tanamkan dalam dirinya. Sebenarnya kondisiku saat ini tak
seburuk seperti yang ia katakan. Hanya bagian tepi bawah rokku yang
sedikit kotor dan sepatu ketsku - yang memang sudah tua dan ada noda permanen- tentu kotor karena lingkungan
becek oleh hujan yang turun sepekan ini. Pakaianku juga tak basah seluruhnya.
Hanya sedikit lembab. Satu atau satu setengah jam ke depan mungkin kering. Mungkin.
“Kalau
kau terus seperti ini, nanti tidak ada yang mau lho!” bisik Ivy yang kini
berada lebih dekat denganku, dengan wajah jail khasnya. Aku mengangkat kepala
dan melotot ke arahnya.
“Ti-tidak
ada yang mau bagaimana maksudmu?”
“Hei,
mengapa kau menatapku seperti itu? Maksudku tidak ada yang mau mengajarimu
tilawah Al-Qur’an.” Ivy berusaha menahan tawa. Ukh, dasar Ivy! Ia terkadang
suka berkata konyol dan sengaja membuatku ‘salah mengartikan’ maksud ucapannya.
“Ya
sudah kalau tidak ada yang mau! Aku mau ke masjid. Shalat jama’ah ashar akan
dimulai.” Aku berjalan cepat meninggalkan Ivy.
“Hei,
Anisa! Tunggu! Kau tidak mau jalan bersamaku? Anisa, wajahmu merona lho!” Ivy
mengejarku sambil tertawa.
***
Detak jam menggema sayup, menggapai hingga ke sudut-sudut
ruangan. Matahari sore menerobos masuk melalui celah ukiran pada jendela-jendela,
membentuk bayang-bayang yang terukir indah di lantai. Beberapa ekor burung
kecil tampak bermain di langit-langit, keluar masuk melalui celah-celah kubah
sambil sesekali bertasbih memuji asma-Nya lewat kicauan nyaring nan merdu. Di
sebuah pojok, aku duduk menghadap-Nya, menanti sesuatu. Jarum jam menunjukkan
pukul setengah enam. Ruangan masjid mulai sepi. Hanya ada dua, tiga orang
sedang melakukan shalat. Beberapa sedang mengaji di pojok lain. Aku menunggu
sampai hanya aku seorang diri yang tersisa di sini. Namun karena sudah tak
sabar, juga mengingat hari yang mau menutup, kuletakkan Al-Qur’an di hadapanku,
kemudian kukeluarkan earphone baruku, menyalakannya, dan berbisik di dekatnya “Surah Ar-Rahman!” sedetik, dua detik
keheningan terlewati, kemudian sebuah suara mengalun indah di sana. Huruf demi
huruf, kata demi kata, kalimat demi kalimat suci mengalir dengan begitu ringan
dan syahdu. Kupejamkan mata dan kubiarkan diriku hanyut. Hanyut dalam
ketentraman dan ketenangan meski ada getaran dalam dadaku. Semua beban akan
masalahku melayang. Keindahan dan perasaan sedahsyat ini tak pernah kutemukan
sebelumnya. Aku bagai berada di sebuah taman bunga yang dinaungi cahaya
benderang. Aku merasa begitu dekat dengan Sang Ilahi.
Alunan telah sampai di penghujung surah, kemudian
berhenti sama sekali. Aku membuka mata dan kuseka bulir air di sudutnya.
Kulihat sekeliling. Tinggal aku seorang diri di sini. Burung kecil masih
bermain di atas sana dengan kicauannya yang memenuhi ruangan. Aku memasukkan earphoneku ke dalam tas dan bergegas
mengembalikan Al-Qur’an ke lemari masjid. Tadinya aku ingin mendengar tilawah
sambil mengikutinya. Namun sepertinya aku tak mampu mengikuti iramanya. Aku menuruni tangga dengan
langkah cepat. Sebentar lagi matahari akan pamit. Awan mendung masih mengambang
di langit meski tak sepekat tadi. Sebuah suara samar menghentikanku yang sedang
memakai sepatu. Aku menoleh ke arah tangga yang menghubungkan beranda dengan
ruang bawah tanah yang letaknya beberapa meter di samping kiriku. Sebuah
ruangan gelap menganga di bawahnya. Lama kutatap untuk memastikan tidak ada
siapapun di sana. Tetapi suara samar-samar itu kembali terdengar dari dalam
sana, menarikku untuk mendekat dan mencari tahu. Aku bangkit dan melangkah
perlahan mendekati tangga. Jantungku berdetak kencang saat kupijakkan kaki di
anak tangga pertama. Suara itu semakin jelas terdengar, meski sangat halus. Itu
suara orang melantunkan ayat suci Al-Qur’an. Aku berpegangan pada dinding yang
lambab dan dingin. Kupijakkan kaki di anak tangga kedua, lalu ketiga. Aku
menatap tajam, menembus kegelapan di hadapanku. Namun tak ada apapun dan
siapapun. Hanya ruangan kosong. Suara itu kembali terdengar. Kali ini tepat di
telinga kananku. Aku merapatkan telinga ke dinding sambil
menuruni dua anak tangga lagi. Suara itu kini jelas. Aku diam mematung, tak
percaya dengan hal luar biasa ini. Aku sangat yakin ini adalah suara yang sama
dengan yang kudengar di earphoneku
beberapa menit yang lalu. Suara yang melantunkan ayat-ayat Allah dengan begitu
indah, lembut, dan menghanyutkanku dalam ketenangan. Timbul rasa keinginan yang
besar dalam diriku untuk mencari tahu siapa pemilik siara itu.
Suasana sunyi. Lantunan itu menghilang. Terdengar suara
orang membuka pintu. Tanpa berpikir panjang, aku segera berlari menaiki tangga
dan bersembunyi di salah satu tiang yang besar. Dengan hati-hati kuintip tangga
bawah tanah. Sekelompok wanita - sepertinya lebih tua
dariku - yang berjumlah empat orang keluar dari dalam.
Yang satu mendekap Al-Qur’an, tiga lainnya membawa buku dan alat tulis. Mereka
mengenakan pakaian syar’i dengan jilbab lebar yang menutupi hingga lutut. Salah
seorang tampak beda dari yang lainnya. Wajahnya begitu teduh dan selalu
menunduk, dengan sesekali mengangguk dan tersenyum. Ia seperti bidadari yang
diturunkan Allah ke bumi untuk memberi kedamaian pada segenap manusia. Aku
menatap mereka berlalu hingga menghilang di suatu tikungan. Timbul pertanyaan
bertubi-tubi dalam benakku. Siapa mereka? Mengapa mereka ada di ruang bawah
tanah? Siapa pemilik suara syahdu itu? Dan siapa bidadari itu?
***
Matahari pagi kembali menyambutku dengan sinar
keemasannya yang hangat. Untuk kesekian kalinya, aku mensyukuri nikmat nafas
yang masih bisa kuhembus hingga pagi ini. Aku menjalankan rutinitas kuliahku
seperti biasa. Masuk kelas, bertemu teman-teman yang baik dan ramah, bertemu
dosen yang juga ramah dan murah senyum, presentasi, menyimak pelajaran,
mengerjakan tugas, kemudian keluar kelas dan menuju
kantin untuk makan siang. Satu hal yang kunantikan, yang tidak seperti biasanya
adalah perjumpaanku dengan pukul enam sore. Waktu terus berjalan, hari terus
merambat, awan pekat kembali berkunjung, melepas rindu pada langit serambi
mekkah meski kemarin baru bertemu, dan rinai kembali menyapa, mengguyur kota
dengan lembut.
Pukul enam sore akhirnya tiba. Aku sudah berdiri di depan
tangga bawah tanah masjid. Setelah memastikan tidak ada yang melihatku, aku
menuruni tangga perlahan hingga anak tangga kelima, lalu merapatkan telinga ke
dinding. Syair itu kembali melantun. Surah Al-Kahfii mengalir indah, menyentuh
hatiku yang haus akan siraman penyejuk kalbu. Aku terduduk. Sambil memejamkan
mata, kusimak hingga ayat terakhir, setelah itu bangkit, bergegas melangkah
keluar, lalu bersembunyi di balik tiang besar. Mataku langsung tertuju pada
sosok bidadari ketika sekelompok itu muncul dari bawah tanah.
Hari-hari berikutnya hal yang sama kembali terulang.
Setiap pukul enam sore aku mengendap-endap seperti musang yang hendak mencuri
ayam, bersandar pada dinding yang lembab dan dingin, dan hanyut dalam syair
yang menenangkan. Namun lama-kelamaan aku tersadar, tak bisa terus berbuat
demikian. Aku harus menyapa dan menyampaikan keinginanku. Setidaknya pada salah
seorang diantaranya, terutama sang bidadari. Ingin sekali aku mengenalnya. Namun tak tahu bagaimana caranya. Suatu siang kuceritakan hal tersebut pada
Ivy. Ia menyarankanku untuk menyapa mereka secara langsung ketika mereka muncul
dari bawah tanah. “Langsung kau sapa saja, Nis. Bukankah itu kesempatan baik
untukmu mendapatkan teman yang dapat membawamu ke surga. Insya Allah. Lagipula
kau ingin berteman dengan tulus, mereka pasti bersedia mengajarimu tilawah
Al-Qur’an, meskipun agak aneh mengapa mereka berada di ruang bawah tanah setiap
sore,” kurang lebih seperti itulah yang dikatakan Ivy. Aku sedang duduk di
kursi taman sambil melamun. Angin berhembus kencang, menerbangkan dedaunan
kering. Awan pekat mendayu-dayu menutup langit. Titik-titik hujan jatuh
berderai. Aku bangkit dan melangkah perlahan di jalan setapak, tidak berusaha
mencari tempat untuk berteduh. Aku terus berjalan tanpa tujuan sambil menikmati
guyuran hujan. Tiba-tiba mataku menangkap sesosok bidadari di tengah taman.
Langkahku sontak terhenti. Ia sedang menengadah ke langit sambil merentangkan
kedua tangannya, lalu berputar perlahan. Wajahnya tampak begitu bahagia dengan
senyum manis yang tiada pudar. Tak kusangka bidadari itu menyukai hujan, sama
sepertiku. Aku tersenyum memperhatikannya dari balik dedaunan. Ingin
aku menyapanya, namun kemudian kuurungkan karena tak ingin mengganggu momennya
menikmati hujan.
Jarum jam menunjukkan pukul enam sore. Aku mendekati
tangga bawah tanah masjid dan melakukan hal seperti biasanya. Namun hanya sunyi
yang menyelubungi, tak ada syair indah, tak ada suara merdu yang tiap sore
melantun itu. Aku kembali ke atas dan duduk di balik tiang besar sambil
memikirkan kemungkinan yang terjadi. Mungkin mereka menggeser jadwal tilawah
mereka, atau salah seorang dari mereka sakit, atau mereka kelelahan sehingga
meliburkan tilawah sore ini. Aku tenggelam dalam pikiranku sendiri dan rasa
kecewa timbul di hatiku. Namun tiba-tiba sekelompok wanita muncul dari ruang
bawah tanah. Hanya bertiga, tanpa kehadiran sang bidadari. Wajahku kembali
bersinar setelah muram sesaat. Aku telah bertekad akan menyapa mereka sore ini.
“Assalamu’alaikum…!” sapaku sambil tersenyum.
“Wa’alaikum salam!” mereka balas tersenyum.
Tanpa basa basi, aku langsung menceritakan semua yang
terjadi, tentang diriku yang selama ini diam-diam mendengarkan tilawah mereka
dari balik dinding, serta permintaan maaf atas perbuatanku. Mereka tampak
heran, saling memandang satu sama lain.
“maksud adik ini apa? Kami ke ruang bawah tanah bukan
untuk tilawah, melainkan ada sesuatu yang harus kami teliti. Lagipula tidak ada
seorangpun yang tilawah di ruang gelap seperti itu,” ujar salah seorang dari
mereka.
“Kami juga ke sini selalu bertiga, tak pernah lebih,”
sambung yang lain.
“Ta-tapi saya melihat kalian selalu berempat,” ujarku
bingung, tak mengerti dengan semua ini. Mereka menggeleng.
“Tidak, kami selalu bertiga.”
“Kalau begitu, terima kasih. Sa-saya pamit dulu.” Aku
berlari meninggalkan mereka yang masih kebingungan. Pikiranku kacau sekali. Aku
sungguh tak mengerti mengapa seperti ini. Apakah selama ini aku berhalusinasi?
Tidak! Aku sadar. Aku sadar atas semua yang terjadi. Lalu tiba-tiba seseorang
menepuk pundakku dari belakang.
“Ivy?”
“Anisa, aku punya kabar mengejutkan. Aku baru saja dari tempat pamanku. Kata beliau sang pemilik suara yang menilawahi Al-Qur’an di earphonemu itu telah meninggal lima
tahun yang lalu tepat di ruang bawah tanah sebelum masjid dibangun,” ujar Ivy.
Aku diam mematung tanpa mampu mengucap sepatah katapun. Kakiku lemas dan
kepalaku pusing sekali. pandanganku mulai gelap, hingga akhirnya terjatuh tak
sadarkan diri.