Minggu, 25 Desember 2016

Cerpen Bertema Keindahan Al-Qur'an di Setiap Syairnya

 Hasil gambar untuk rindu hujan
Syair Indah Sang Bidadari
 
Seperti hari-hari sebelumnya, pagiku diawali dengan penyesalan akibat mengacuhkan jeritan jam beker, kemudian panik mencari handuk - yang sesungguhnya berada di tangan sendiri - lalu berpakaian dengan terburu-buru, sarapan seadanya dengan makanan sisa semalam, membereskan tempat tidur, memasukkan buku-buku ke dalam tas, memakai sepatu, kemudian berlari menuruni tangga. Tiba di pekarangan, kutarik nafas panjang, lalu melangkah tenang di antara rerumputan  yang berkilauan. Mataku langsung tertuju pada titik paling terang di kaki langit tepat di hadapanku, dengan pulau-pulau awan yang melayang rendah di sekitarnya. Jilbabku berkibar-kibar disapa angin. Aku menyambutnya dengan senyum seindah mungkin, sebagai wujud rasa legaku karena berada di sini tepat pada waktunya. Semua tadi kulakukan dengan cepat bukan karena takut terlambat mengikuti pelajaran di kampus, melainkan tak ingin melewatkan Mahakarya indah yang dihadirkan Sang Pencipta di setiap paginya pada sisi timur bumi itu. Detik-detik ketika cahaya matahari tiba di bumi dan menyentuh tubuhku adalah saat di mana sebuah energi menjalar dan menyebarkan sinyal-sinyal positifnya ke seluruh tubuh mulai dari ubun-ubun hingga ujung kaki. Saat itu pula aku menyadari betapa besarnya nikmat Tuhan, yang menganugerahkan kelima inderaku berfungsi dengan baik hingga pagi ini. Karena aku tak tahu kapan itu berakhir, sampai kapan matahari itu membagi sinarnya untukku.
Aku sedang duduk di kursi taman kampusku ketika awan pekat mulai menaungi. Angin berhembus kencang membuat gaduh pepohonan dan menghempas dedaunan kering. Hawa sejuk menyentuh lembut wajahku, mengalir hingga sekujur tubuh. Sebuah lampu bundar berdebu yang ada di dekatku menyala otomatis. Cahayanya yang redup pertanda ia telah lelah mengabdi. Titik-titik air jatuh perlahan dari langit. Kutengadahkan wajahku dan kubiarkan ia membasahinya. Aku menikmati semua itu. Aku menemukan keindahan dalam hal-hal kecil seperti hujan, dedaunan kering yang berjatuhan, lampu taman, guratan awan, bayang-bayang pohon dalam senja, bahkan genangan air di hadapanku. Aku mengagumi keindahan. Satu hal yang paling indah di atas segalanya bagiku adalah syair Al-Qur’an. Aku kerap menyendiri untuk menikmati semua itu. Karena dengan begitulah aku menemukan ketenangan.
Lafadz terakhir azan masih terngiang-ngiang seiring dengan meredanya hujan. Aku bangkit dari kursi taman dan menyusuri jalan setapak menuju masjid. Sebuah suara yang memanggil namaku membuatku menoleh.
“Anisa…!”
“Hai, Ivy!” sapaku sambil tersenyum.
“Ini, earphone yang kau pesan. Sudah ada tilawah lengkap 30 juz. Kau bisa memilih surah yang kau inginkan cukup dengan mendekatkan mulutmu pada kotak ini, kemudian menyebutkan nama surahnya. Canggih dan praktis, bukan?” Ivy menyodorkan sebuah earphone sambil mengenalkan cara memakainya, sedang aku terpaku. Beberapa hari yang lalu aku memang memesannya pada paman Ivy yang merupakan pemilik toko elektronik, buku, dan CD islami. Aku ingin sekali bisa membaca Al-Qur’an dengan berirama sejak dulu. Namun tak kunjung mempelajarinya. Aku merasa sangat kaku dan tak indah ketika membaca Al-Qur’an. Kini aku berjanji pada diri sendiri untuk mempelajarinya dan mampu membacanya sebelum semester dua.
“Terimakasih banyak, Ivy!” aku memeluknya bahagia.
“Sama-sama Nis,” ujarnya sambil mencubit pipiku.
“Pipimu dingin dan lembab, Nis. Ya ampun, jilbabmu, kemejamu, mengapa basah dan kotor seperti ini?” Ivy mengambil beberapa helai daun kecil yang melekat di jilbabku. Ia kemudian mundur selangkah dan memandangiku tak percaya dari atas hingga bawah, lalu ke atas lagi, kemudian ke bawah lagi, berulang-ulang sambil melongo.
“Kamu hujan-hujanan lagi?”
Aku mengangguk. Mataku menjelajah ke sekeliling, berusaha tak menatapnya sambil memasang tampang tak berdosa meski tahu beberapa detik lagi aku akan kembali ‘hujan-hujanan’, hujan semprotan pidato Ivy yang sepertinya akan lebih panjang dari musim hujan manapun.
“Aih…rokmu, sepatumu, basah dan kotor sekali! Sudah kuperingatkan Nis, jangan lakukan sesuatu yang tak berguna! Kau boleh menyenanginya, tapi bukan berarti kau boleh terus berbuat demikian.” Ivy menghela nafas. “Karena hal itu juga akan berdampak buruk bagimu…!” Ivy menatapku prihatin. Aku menggaruk kepalaku yang tak gatal, kemudian menunduk, menghindari tatapannya. Ivy adalah teman baikku yang paling cerewet, namun sifat pedulinya tak kutemukan pada siapapun. Ia gadis yang cerdas dan menyukai kebersihan. Semboyan ‘Kebersihan adalah sebagian dari iman’ sangat ia tanamkan dalam dirinya. Sebenarnya kondisiku saat ini tak seburuk seperti yang ia katakan. Hanya bagian tepi bawah rokku yang sedikit kotor dan sepatu ketsku - yang memang sudah tua dan ada noda permanen- tentu kotor karena lingkungan becek oleh hujan yang turun sepekan ini. Pakaianku juga tak basah seluruhnya. Hanya sedikit lembab. Satu atau satu setengah jam ke depan mungkin kering. Mungkin.
“Kalau kau terus seperti ini, nanti tidak ada yang mau lho!” bisik Ivy yang kini berada lebih dekat denganku, dengan wajah jail khasnya. Aku mengangkat kepala dan melotot ke arahnya.
“Ti-tidak ada yang mau bagaimana maksudmu?”
“Hei, mengapa kau menatapku seperti itu? Maksudku tidak ada yang mau mengajarimu tilawah Al-Qur’an.” Ivy berusaha menahan tawa. Ukh, dasar Ivy! Ia terkadang suka berkata konyol dan sengaja membuatku ‘salah mengartikan’ maksud ucapannya.
“Ya sudah kalau tidak ada yang mau! Aku mau ke masjid. Shalat jama’ah ashar akan dimulai.” Aku berjalan cepat meninggalkan Ivy.
“Hei, Anisa! Tunggu! Kau tidak mau jalan bersamaku? Anisa, wajahmu merona lho!” Ivy mengejarku sambil tertawa.
***
            Detak jam menggema sayup, menggapai hingga ke sudut-sudut ruangan. Matahari sore menerobos masuk melalui celah ukiran pada jendela-jendela, membentuk bayang-bayang yang terukir indah di lantai. Beberapa ekor burung kecil tampak bermain di langit-langit, keluar masuk melalui celah-celah kubah sambil sesekali bertasbih memuji asma-Nya lewat kicauan nyaring nan merdu. Di sebuah pojok, aku duduk menghadap-Nya, menanti sesuatu. Jarum jam menunjukkan pukul setengah enam. Ruangan masjid mulai sepi. Hanya ada dua, tiga orang sedang melakukan shalat. Beberapa sedang mengaji di pojok lain. Aku menunggu sampai hanya aku seorang diri yang tersisa di sini. Namun karena sudah tak sabar, juga mengingat hari yang mau menutup, kuletakkan Al-Qur’an di hadapanku, kemudian kukeluarkan earphone baruku, menyalakannya, dan berbisik di dekatnya “Surah Ar-Rahman!” sedetik, dua detik keheningan terlewati, kemudian sebuah suara mengalun indah di sana. Huruf demi huruf, kata demi kata, kalimat demi kalimat suci mengalir dengan begitu ringan dan syahdu. Kupejamkan mata dan kubiarkan diriku hanyut. Hanyut dalam ketentraman dan ketenangan meski ada getaran dalam dadaku. Semua beban akan masalahku melayang. Keindahan dan perasaan sedahsyat ini tak pernah kutemukan sebelumnya. Aku bagai berada di sebuah taman bunga yang dinaungi cahaya benderang. Aku merasa begitu dekat dengan Sang Ilahi.
            Alunan telah sampai di penghujung surah, kemudian berhenti sama sekali. Aku membuka mata dan kuseka bulir air di sudutnya. Kulihat sekeliling. Tinggal aku seorang diri di sini. Burung kecil masih bermain di atas sana dengan kicauannya yang memenuhi ruangan. Aku memasukkan earphoneku ke dalam tas dan bergegas mengembalikan Al-Qur’an ke lemari masjid. Tadinya aku ingin mendengar tilawah sambil mengikutinya. Namun sepertinya aku tak mampu mengikuti iramanya. Aku menuruni tangga dengan langkah cepat. Sebentar lagi matahari akan pamit. Awan mendung masih mengambang di langit meski tak sepekat tadi. Sebuah suara samar menghentikanku yang sedang memakai sepatu. Aku menoleh ke arah tangga yang menghubungkan beranda dengan ruang bawah tanah yang letaknya beberapa meter di samping kiriku. Sebuah ruangan gelap menganga di bawahnya. Lama kutatap untuk memastikan tidak ada siapapun di sana. Tetapi suara samar-samar itu kembali terdengar dari dalam sana, menarikku untuk mendekat dan mencari tahu. Aku bangkit dan melangkah perlahan mendekati tangga. Jantungku berdetak kencang saat kupijakkan kaki di anak tangga pertama. Suara itu semakin jelas terdengar, meski sangat halus. Itu suara orang melantunkan ayat suci Al-Qur’an. Aku berpegangan pada dinding yang lambab dan dingin. Kupijakkan kaki di anak tangga kedua, lalu ketiga. Aku menatap tajam, menembus kegelapan di hadapanku. Namun tak ada apapun dan siapapun. Hanya ruangan kosong. Suara itu kembali terdengar. Kali ini tepat di telinga kananku. Aku merapatkan telinga ke dinding sambil menuruni dua anak tangga lagi. Suara itu kini jelas. Aku diam mematung, tak percaya dengan hal luar biasa ini. Aku sangat yakin ini adalah suara yang sama dengan yang kudengar di earphoneku beberapa menit yang lalu. Suara yang melantunkan ayat-ayat Allah dengan begitu indah, lembut, dan menghanyutkanku dalam ketenangan. Timbul rasa keinginan yang besar dalam diriku untuk mencari tahu siapa pemilik siara itu.
            Suasana sunyi. Lantunan itu menghilang. Terdengar suara orang membuka pintu. Tanpa berpikir panjang, aku segera berlari menaiki tangga dan bersembunyi di salah satu tiang yang besar. Dengan hati-hati kuintip tangga bawah tanah. Sekelompok wanita - sepertinya lebih tua dariku - yang berjumlah empat orang keluar dari dalam. Yang satu mendekap Al-Qur’an, tiga lainnya membawa buku dan alat tulis. Mereka mengenakan pakaian syar’i dengan jilbab lebar yang menutupi hingga lutut. Salah seorang tampak beda dari yang lainnya. Wajahnya begitu teduh dan selalu menunduk, dengan sesekali mengangguk dan tersenyum. Ia seperti bidadari yang diturunkan Allah ke bumi untuk memberi kedamaian pada segenap manusia. Aku menatap mereka berlalu hingga menghilang di suatu tikungan. Timbul pertanyaan bertubi-tubi dalam benakku. Siapa mereka? Mengapa mereka ada di ruang bawah tanah? Siapa pemilik suara syahdu itu? Dan siapa bidadari itu?
***
            Matahari pagi kembali menyambutku dengan sinar keemasannya yang hangat. Untuk kesekian kalinya, aku mensyukuri nikmat nafas yang masih bisa kuhembus hingga pagi ini. Aku menjalankan rutinitas kuliahku seperti biasa. Masuk kelas, bertemu teman-teman yang baik dan ramah, bertemu dosen yang juga ramah dan murah senyum, presentasi, menyimak pelajaran, mengerjakan tugas, kemudian keluar kelas dan menuju kantin untuk makan siang. Satu hal yang kunantikan, yang tidak seperti biasanya adalah perjumpaanku dengan pukul enam sore. Waktu terus berjalan, hari terus merambat, awan pekat kembali berkunjung, melepas rindu pada langit serambi mekkah meski kemarin baru bertemu, dan rinai kembali menyapa, mengguyur kota dengan lembut.
            Pukul enam sore akhirnya tiba. Aku sudah berdiri di depan tangga bawah tanah masjid. Setelah memastikan tidak ada yang melihatku, aku menuruni tangga perlahan hingga anak tangga kelima, lalu merapatkan telinga ke dinding. Syair itu kembali melantun. Surah Al-Kahfii mengalir indah, menyentuh hatiku yang haus akan siraman penyejuk kalbu. Aku terduduk. Sambil memejamkan mata, kusimak hingga ayat terakhir, setelah itu bangkit, bergegas melangkah keluar, lalu bersembunyi di balik tiang besar. Mataku langsung tertuju pada sosok bidadari ketika sekelompok itu muncul dari bawah tanah.
            Hari-hari berikutnya hal yang sama kembali terulang. Setiap pukul enam sore aku mengendap-endap seperti musang yang hendak mencuri ayam, bersandar pada dinding yang lembab dan dingin, dan hanyut dalam syair yang menenangkan. Namun lama-kelamaan aku tersadar, tak bisa terus berbuat demikian. Aku harus menyapa dan menyampaikan keinginanku. Setidaknya pada salah seorang diantaranya, terutama sang bidadari. Ingin sekali aku mengenalnya. Namun tak tahu bagaimana caranya. Suatu siang kuceritakan hal tersebut pada Ivy. Ia menyarankanku untuk menyapa mereka secara langsung ketika mereka muncul dari bawah tanah. “Langsung kau sapa saja, Nis. Bukankah itu kesempatan baik untukmu mendapatkan teman yang dapat membawamu ke surga. Insya Allah. Lagipula kau ingin berteman dengan tulus, mereka pasti bersedia mengajarimu tilawah Al-Qur’an, meskipun agak aneh mengapa mereka berada di ruang bawah tanah setiap sore,” kurang lebih seperti itulah yang dikatakan Ivy. Aku sedang duduk di kursi taman sambil melamun. Angin berhembus kencang, menerbangkan dedaunan kering. Awan pekat mendayu-dayu menutup langit. Titik-titik hujan jatuh berderai. Aku bangkit dan melangkah perlahan di jalan setapak, tidak berusaha mencari tempat untuk berteduh. Aku terus berjalan tanpa tujuan sambil menikmati guyuran hujan. Tiba-tiba mataku menangkap sesosok bidadari di tengah taman. Langkahku sontak terhenti. Ia sedang menengadah ke langit sambil merentangkan kedua tangannya, lalu berputar perlahan. Wajahnya tampak begitu bahagia dengan senyum manis yang tiada pudar. Tak kusangka bidadari itu menyukai hujan, sama sepertiku. Aku tersenyum memperhatikannya dari balik dedaunan. Ingin aku menyapanya, namun kemudian kuurungkan karena tak ingin mengganggu momennya menikmati hujan.
            Jarum jam menunjukkan pukul enam sore. Aku mendekati tangga bawah tanah masjid dan melakukan hal seperti biasanya. Namun hanya sunyi yang menyelubungi, tak ada syair indah, tak ada suara merdu yang tiap sore melantun itu. Aku kembali ke atas dan duduk di balik tiang besar sambil memikirkan kemungkinan yang terjadi. Mungkin mereka menggeser jadwal tilawah mereka, atau salah seorang dari mereka sakit, atau mereka kelelahan sehingga meliburkan tilawah sore ini. Aku tenggelam dalam pikiranku sendiri dan rasa kecewa timbul di hatiku. Namun tiba-tiba sekelompok wanita muncul dari ruang bawah tanah. Hanya bertiga, tanpa kehadiran sang bidadari. Wajahku kembali bersinar setelah muram sesaat. Aku telah bertekad akan menyapa mereka sore ini.
            “Assalamu’alaikum…!” sapaku sambil tersenyum.
            “Wa’alaikum salam!” mereka balas tersenyum.
            Tanpa basa basi, aku langsung menceritakan semua yang terjadi, tentang diriku yang selama ini diam-diam mendengarkan tilawah mereka dari balik dinding, serta permintaan maaf atas perbuatanku. Mereka tampak heran, saling memandang satu sama lain.
            “maksud adik ini apa? Kami ke ruang bawah tanah bukan untuk tilawah, melainkan ada sesuatu yang harus kami teliti. Lagipula tidak ada seorangpun yang tilawah di ruang gelap seperti itu,” ujar salah seorang dari mereka.
            “Kami juga ke sini selalu bertiga, tak pernah lebih,” sambung yang lain.
            “Ta-tapi saya melihat kalian selalu berempat,” ujarku bingung, tak mengerti dengan semua ini. Mereka menggeleng.
            “Tidak, kami selalu bertiga.”
            “Kalau begitu, terima kasih. Sa-saya pamit dulu.” Aku berlari meninggalkan mereka yang masih kebingungan. Pikiranku kacau sekali. Aku sungguh tak mengerti mengapa seperti ini. Apakah selama ini aku berhalusinasi? Tidak! Aku sadar. Aku sadar atas semua yang terjadi. Lalu tiba-tiba seseorang menepuk pundakku dari belakang.
            “Ivy?”
            “Anisa, aku punya kabar mengejutkan. Aku baru saja dari tempat pamanku. Kata beliau sang pemilik suara yang menilawahi Al-Qur’an di earphonemu itu telah meninggal lima tahun yang lalu tepat di ruang bawah tanah sebelum masjid dibangun,” ujar Ivy. Aku diam mematung tanpa mampu mengucap sepatah katapun. Kakiku lemas dan kepalaku pusing sekali. pandanganku mulai gelap, hingga akhirnya terjatuh tak sadarkan diri.

TAMAT
by: Faiza Maulia